KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA
Ø
Pentingnya pengetahuan tentang KRR
Masa remaja adalah suatu tahap antara masa
kanak-kanak dengan masa dewasa. Istilah ini menunjuk masa dari awal pubertas
sampai tercapainya kematangan; biasanya mulai dari usia 14 pada pria dan usia
12 pada wanita. Transisi ke masa dewasa bervariasi dari satu budaya kebudayaan
lain, namun secara umum didefinisikan sebagai waktu dimana individu mulai
bertindak terlepas dari orang tua mereka.
Masa
remaja dibedakan dalam :
- Masa remaja awal, 10 – 13
tahun.
- Masa remaja tengah, 14 – 16
tahun.
- Masa remaja akhir, 17 – 19 tahun.
-
Pertumbuhan
fisik pada remaja perempuan :
- Mulai menstruasi.
- Payudara dan pantat membesar.
- Indung telur membesar.
- Kulit dan rambut berminyak dan
tumbuh jerawat.
- Vagina mengeluarkan cairan.
- Mulai tumbuh bulu di ketiak dan
sekitar vagina.
- Tubuh bertambah tinggi.
Perubahan
fisik yang terjadi pada remaja laki-laki :
- Terjadi perubahan suara mejadi
besar dan mantap.
- Tumbuh bulu disekitar ketiak
dan alat kelamin.
- Tumbuh kumis.
- Mengalami mimpi basah.
- Tumbuh jakun.
- Pundak dan dada bertambah besar
dan bidang.
- Penis dan buah zakar membesar.
Perubahan
psikis juga terjadi baik pada remaja perempuan maupun remaja laki-laki,
mengalami perubahan emosi, pikiran, perasaan, lingkungan pergaulan dan tanggung
jawab, yaitu :
- Remaja lebih senang berkumpul
diluar rumah dengan kelompoknya.
- Remaja lebih sering membantah
atau melanggar aturan orang tua.
- Remaja ingin menonjolkan diri
atau bahkan menutup diri.
- Remaja kurang mempertimbangkan
maupun menjadi sangat tergantung pada kelompoknya.Hal tersebut diatas
menyebabkan remaja menjadi lebih mudah terpengaruh oleh hal-hal yang
negatif dari lingkungan barunya.
·
MENSTRUASI ATAU HAID.
Bila
menstruasi baru mulai periodenya mungkin tidak teratur dan dapat terjadi
sebulan dua kali menstruasi kemudian beberapa bulan tidak menstruasi lagi. Hal
ini memakan waktu kira-kira 3 tahun sampai menstruasi mempunyai pola yang
teratur dan akan berjalan terus secara teratur sampai usia 50 tahun. Bila
seorang wanita berhenti menstruasi disebut menopause. Siklus menstruasi
meliputi :
- Indung telur mengeluarkan telur
(ovulasi) kurang lebih 14 hari sebelum menstruasi yang akan datang.
- Telur berada dalam saluran
telur, selaput lendir rahim menebal.
- Telur berada dalam rahim,
selaput lendir rahim menebal dan siap menerima hasil pembuahan.
- Bila tidak ada pembuahan,
selaput rahim akan lepas dari dinding rahim dan terjadi perdarahan. Telur
akan keluar dari rahim bersama darah.
Panjang
siklus menstruasi berbeda-beda setiap perempuan. Ada yang 26 hari, 28 hari, 30
hari, atau bahkan ada yang 40 hari. Lama menstruasi pada umumnya 5 hari, namun
kadang-kadang ada yang lebih cepat 2 hari atau bahkan sampai 5 hari. Jumlah
seluruh darah yang dikeluarkan biasanya antara 30 – 80 ml. Selama masa haid,
yang perlu diperhatikan adalah kebersihan daerah kewanitaan dengan mengganti pembalut
sesering mungkin.
·
MIMPI BASAH, BAGAIMANA BISA TERJADI
?
Ketika
seseorang laki-laki memasuki masa pubertas, terjadi pematangan sperma didalam
testis. Sperma yang telah diproduksi ini akan dikeluarkan melalui Vas Deferens
kemudian berada dalam cairan mani yang diproduksi oleh kelenjar prostat. Air
mani yang telah mengandung sperma ini akan keluar yang disebut ejakulasi.
Ejakulasi yang tanpa rangsangan yang nyata disebut mimpi basah. Masturbasi adalah memberikan rangsangan
pada penis dengan gerakan tangan sendiri sehingga timbul ereksi yang disusul
dengan ejakulasi, atau disebut juga onani.
·
KEHAMILAN.
Merupakan
akibat utama dari hubungan seksual. Kehamilan dapat terjadi bila dalam
berhubungan seksual terjadi pertemuan antara sel telur (ovum) dengan sel
sperma. Proses kehamilan dapat diilustrasikan sebagai berikut :
- Sel telur yang keluar dari
indung telur pada saat ovulasi akan masuk kedalam sel telur.
- Sperma yang tumpah didalam
saluran vagina waktu senggama akan bergerak masuk kedalam rahim dan selanjutnya
ke saluran telur.
- Di saluran telur ini, sperma
akan bertemu dengan sel telur dan langsung membuahi.
Tanda-tanda
kehamilan :
- Sering mual-mual, muntah dan
pusing pada saat bangun tidur (morning sickness) atau sepanjang hari.
- Mengantuk, lemas, letih dan
lesu.
- Amenorhea (tidak mengalami
haid).
- Nafsu makan menurun, namun pada
saat tertentu menghendaki makanan tertentu (nyidam).
- Dibuktikan melalui tes
laboratorium yaitu HCG Test dan USG.
- Perubahan fisik seperti
payudara membesar dan sering mengeras, daerah sekitar Aerola Mammae
(sekitar puting) membesar.
Kesehatan reproduksi menurut WHO adalah suatu keadaan
fisik, mental dan sosial yang utuh, bukan hanya bebas dari penyakit atau
kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta
prosesnya. Atau Suatu keadaan dimana manusia dapat menikmati kehidupan
seksualnya serta mampu menjalankan fungsi dan proses reproduksinya secara sehat
dan aman.
Sebenarnya
remaja Indonesia Masih Sangat Membutuhkan Informasi Kesehatan Reproduksi. Menjadi remaja berarti menjalani
proses berat yang membutuhkan banyak penyesuaian dan menimbulkan kecemasan.
Lonjakan pertumbuhan badani dan pematangan organ-organ reproduksi adalah salah
satu masalah besar yang mereka hadapi. Perasaan seksual yang menguat tak bisa
tidak dialami oleh setiap remaja meskipun kadarnya berbeda satu dengan yang
lain. Begitu juga kemampuan untuk mengendalikannya.
Di Indonesia saat ini 62 juta remaja sedang bertumbuh di
Tanah Air. Artinya, satu dari lima orang Indonesia berada dalam rentang usia
remaja. Mereka adalah calon generasi penerus bangsa dan akan menjadi orangtua
bagi generasi berikutnya. Tentunya, dapat dibayangkan, betapa besar pengaruh
segala tindakan yang mereka lakukan saat ini kelak di kemudian hari tatkala
menjadi dewasa dan lebih jauh lagi bagi bangsa di masa depan. Ketika mereka
harus berjuang mengenali sisi-sisi diri yang mengalami perubahan
fisik-psikis-sosial akibat pubertas, masyarakat justru berupaya keras
menyembunyikan segala hal tentang seks, meninggalkan remaja dengan berjuta
tanda tanya yang lalu lalang di kepala mereka.
Pandangan bahwa seks adalah tabu, yang telah sekian lama
tertanam, membuat remaja enggan berdiskusi tentang kesehatan reproduksi dengan
orang lain. Yang lebih memprihatinkan, mereka justru merasa paling tak nyaman
bila harus membahas seksualitas dengan anggota keluarganya sendiri. Tak
tersedianya informasi yang akurat dan "benar" tentang kesehatan
reproduksi memaksa remaja bergerilya mencari akses dan melakukan eksplorasi
sendiri. Arus komunikasi dan informasi mengalir deras menawarkan petualangan
yang menantang.
Majalah, buku, dan film pornografi yang memaparkan
kenikmatan hubungan seks tanpa mengajarkan tanggung jawab yang harus disandang
dan risiko yang harus dihadapi, menjadi acuan utama mereka. Mereka juga melalap
"pelajaran" seks dari internet, meski saat ini aktivitas situs
pornografi baru sekitar 2-3%, dan sudah muncul situs-situs pelindung dari
pornografi . Hasilnya, remaja yang beberapa generasi lalu masih malu-malu kini
sudah mulai melakukan hubungan seks di usia dini, 13-15 tahun!
Memang hasil penelitian di beberapa daerah menunjukkan bahwa
seks pra-nikah belum terlampau banyak dilakukan. Di Jatim, Jateng, Jabar dan
Lampung: 0,4 - 5% Di Surabaya: 2,3% Di Jawa Barat: perkotaan 1,3% dan pedesaan
1,4%. Di Bali: perkotaan 4,4.% dan pedesaan 0%. Tetapi beberapa penelitian lain
menemukan jumlah yang jauh lebih fantastis, 21-30% remaja Indonesia di kota
besar seperti Bandung, Jakarta, Yogyakarta telah melakukan hubungan seks
pra-nikah. Beberapa dari siswa mengungkapkan, dia melakukan hubungan seks
tersebut berdasarkan suka dan tanpa paksaan.
Kebutuhan dan jenis risiko kesehatan reproduksi yang
dihadapi remaja mempunyai ciri yang berbeda dari anak-anak ataupun orang
dewasa. Jenis risiko kesehatan reproduksi yang harus dihadapi remaja antara
lain adalah kehamilan, aborsi, penyakit menular seksual (PMS), ke-kerasan
seksual, serta masalah keterbatasan akses terhadap informasi dan pelayanan
kesehatan. Risiko ini dipe-ngaruhi oleh berbagai faktor yang saling
berhubungan, yaitu tuntutan untuk kawin muda dan hubungan seksual, akses
terhadap pendidikan dan pekerjaan, ketidaksetaraan gender, kekerasan seksual
dan pengaruh media massa maupun gaya hidup.
A. Hubungan remaja dan kesehatan reproduksi.
Remaja pada umumnya menghadapi permasalahan yang sama untuk
memahami tentang seksualitas, yaitu minimnya pengetahuan tentang seksualitas
dan kesehatan reproduksi yang disebabkan oleh terbatasnya akses informasi dan
advokasi remaja, tidak adanya akses pelayanan yang ramah terhadap remaja, belum
adanya kurikulum kesehatan reproduksi remaja di sekolah, serta masih
terbatasnya institusi di pemerintah yang menangani remaja secara khusus dan
belum ada undang-undang yang mengakomodir hak-hak remaja
Regulasi perundangan dan budaya juga menyebabkan remaja semakin kesulitan
secara terbuka mendapatkan pengetahuan mengenai seksualitas dan reproduksi.
Undang-Undang masih membatasi dan menyebutkan melarang pemberian informasi
seksual dan pelayanan bagi orang yang belum menikah. Hal itu telah membatasi
ruang pendidikan dan sosial untuk memberikan pengetahuan pada remaja mengenai
seksualitas. Selain itu, budaya telah menyebabkan remaja tabu untuk
membicarakan masalah seksualitas dan kesehatan reproduksinya.
Ketika
itu terjadi, akhirnya jalan lain yang berdampak negatif terhadap perkembangan
remaja di pilih. Dan yang terjadi akhirnya banyak remaja yang memuaskan rasa
keingintahuannya melalui berbagai macam sumber informasi mengenai seksualitas
media massa dan internet.
Keingintahuan
remaja mengenai seksualitas serta dorongan seksual telah menyebabkan remaja
untuk melakukan aktivitas seksual remaja, yang akhirnya menimbulkan
persoalan pada remaja yang berkaitan dengan aktivitas seksual. Seperti
kasus-kasus kekerasan seksual, kehamilan tidak diinginkan (KTD) pada remaja,
aborsi remaja, pernikahan usia muda dan lain sebagainya.
1.
Nasib Remaja Putri
Nilai-nilai patriarkhis yang berurat akar di masyarakat kita
telah meletakkan remaja putri jauh di luar jarak pandang kita dalam kesehatan
reproduksi. Undang-undang no. 20/ 1992 mentabukan pula pemberian layanan KB
untuk remaja putri yang belum menikah.
Bahkan mitos pun memojokkan remaja putri, untuk
membujuk-paksa mereka supaya bersedia berhubungan seks secara "suka-sama-suka",
bahwa hubungan seks yang hanya dilakukan sekali takkan menyebabkan kehamilan.
Berbagai metode kontrasepsi "fiktif" juga beredar luas di kalangan
remaja: basuh vagina dengan minuman berkarbonasi, lari-lari di tempat atau
squat-jump segera setelah berhubungan seks.
Ketika pencegahan gagal dan berujung pada kehamilan,
lagi-lagi remaja putri yang harus bertanggung jawab. Memilih untuk menjalani
kehamilan dini seperti dilakukan 9,5% remaja di bawah 20 tahun , dengan risiko
kemungkinan kematian ibu pada saat melahirkan 28% lebih tinggi dibanding yang
berusia 20 tahun ke atas , disertai kegamangan karena tak siap menghadapi peran
baru sebagai ibu. Atau menjalani pilihan lain yang tersedia: aborsi!
Ketakutan akan hukuman dari masyarakat dan terlebih lagi tidak
diperbolehkannya remaja putri belum menikah menerima layanan keluarga berencana
memaksa mereka untuk melakukan aborsi, yang sebagian besar dilakukan secara
sembunyi-sembunyi tanpa mempedulikan standar medis. Data WHO menyebutkan bahwa
15-50 persen kematian ibu disebabkan karena pengguguran kandungan yang tiudak
aman. Bahkan Departemen Kesehatan RI mencatat bahwa setiap tahunnya terjadi 700
ribu kasus aborsi pada remaja atau 30 persen dari total 2 juta kasus di mana
sebagian besar dilakukan oleh dukun.
Dari penelitian yang dilaukan PKBI tahun 2005 di 9 kota
mengenai aborsi dengan 37.685 responden, 27 persen dilakukan oleh klien yang
belum menikah dan biasanya sudah mengupayakan aborsi terlebih dahulu secara
sendiri dengan meminum jamu khusus. Sementara 21,8 persen dilakukan oleh klien
dengan kehamilan lanjut dan tidak dapat dilayani permintaan aborsinya
2.
Pengetahuan Seks
Menyedihkan, kekukuhan kita untuk terus mengingkari
kenyataan bahwa remaja butuh pengetahuan tentang seks dan kesehatan reproduksi
yang benar, telah menjerumuskan mereka membentuk keluarga tak berkualitas:
bapak-ibu belia yang tak siap fisik-psikisnya untuk menjadi orangtua, ibu tanpa
suami, juga anak-anak yang ditinggal mati ibunya saat melahirkan. Padahal
memberikan informasi tentang kesehatan reproduksi tidak serta-merta memberikan
pula kesempatan untuk melakukan seks bebas. Pengalaman menunjukkan, di banyak
negara yang telah memberlakukan pendidikan kesehatan reproduksi remaja, yang
terjadi kemudian bukanlah promiskuitas atau seks bebas di kalangan remaja
seperti yang selalu dikuatirkan, tetapi sebaliknya pendidikan kesehatan
reproduksi justru membuat remaja menunda keaktifan seksualnya.
Mengembangkan kebijakan dan program berdasar paradigma baru
yang lebih peka gender dan "ramah" pada remaja dengan menempatkan
remaja sebagai subjek aktif yang patut didengar, dilibatkan, dan dengan
demikian turut bertanggung jawab atas kepentingan mereka sendiri.
Pendidikan kesehatan reproduksi remaja, termasuk di dalamnya
informasi tentang keluarga berencana dan hubungan antargender, diberikan tak
hanya untuk remaja melalui sekolah dan media lain, tetapi juga untuk keluarga
dan masyarakat.
Rumusan baru 'kejantanan' yang lebih menekankan tanggung
jawab dan saling menghormati dalam relasi antargender perlu pula dipopulerkan
di antara remaja putra. Program pelayanan kesehatan reproduksi remaja harus
mulai dipikirkan, dengan penyedia layanan yang 'ramah remaja': menjaga
kerahasiaan, tidak menghakimi, peka pada persoalan remaja.
Meneruskan upaya meretas hambatan sosial budaya dan agama
dalam persoalan reproduksi dan seksualitas remaja, melibatkan kelompok
masyarakat yang lebih luas, seperti ulama-rohaniwan, petinggi adat untuk
menilai, merencanakan dan melaksanakan program yang paling tepat untuk
kesehatan reproduksi remaja, termasuk juga mendorong keterbukaan dan komunikasi
dalam keluarga. Apa pun yang dirancang dengan baik takkan berjalan sempurna
tanpa kerja yang sungguh-sungguh untuk mendengar remaja kita, berupaya memenuhi
kebutuhan psikologisnya, memuaskan rasa ingin tahunya, sembari mengajari mereka
menjalani kehidupan dengan bertanggung jawab.
3.
Perkembangan seksual
Perubahan fisik yang terjadi pada masa pubertas
bertanggung-jawab atas munculnya dorongan seks. Pemuasan dorongan seks masih
dipersulit dengan banyaknya tabu sosial, sekaligus juga kekurangan pengetahuan
yang benar tentang seksualitas. Namun sejak tahun 1960-an, aktivitas seksual
telah meningkat di antara remaja; studi akhir menunjukkan bahwa hampir 50
persen remaja di bawah usia 15 dan 75 persen di bawah usia 19 melaporkan telah
melakukan hubungan seks. Terlepas dari keterlibatan mereka dalam aktivitas
seksual, beberapa remaja tidak tertarik pada, atau tahu tentang, metode
Keluarga Berencana atau gejala-gejala Penyakit Menular Seksual (PMS).
Akibatnya, angka kelahiran tidak sah dan timbulnya penyakit kelamin kian
meningkat.
4.
Perilaku seksual remaja
Dari hasil survey yang dilakukan oleh LKTS (Lembaga Kajian
untuk Trasformasi Sosial) Boyolali mengenai Kekerasan dan Perilaku seksual pada
kalangan pelajar di Klaten menunjukkan hasil yang memprihatinkan, perilaku seks
bebas sudah mulai berkembang di kalangan remaja. Survey menunjukkan bahwa
hambatan informasi tentang seks dan kesehatan reproduksi berasal dari orang tua
akibat minimnya pengetahuan mereka tentang kesehatan reproduksi dan
seksualitas. Kondisi ini tercermin dari tingkat pendidikan orang tua siswa,
terutama ibu yang berpendidikan rendah (SMP ke bawah) sebanyak 61%. Padahal ibu
memiliki peran penting dalam memberikan informasi tentang seks pada
anak-anaknya. Sedangkan ayah yang berpendidikan di bawah SMP sebanyak 49,6% dan
di SMA ke atas sebanyak 50,5%. Hal lain yang menjadi kendala adalah faktor
budaya yang masih menabukan segala topik yang berkaitan dengan seks dan
seksualitas bagi mereka orang yang belum menikah.
Minimnya pengetahuan seks membuat remaja mencari sumber informasi di luar
rumah. Sayangnya, media yag diakses justru hanya mengarah pada pornografi dan
bukan pendidikan seks yang bertanggung jawab. Handphone merupakan sarana
favorit remaja untuk bertukar gambar porno (26%), internet juga menjadi media
yang cukup banyak diakses oleh responden (20%), peredaran blue film yang
longgar juga menyebabkan responden bisa dengan bebas mengaksesnya (13%).
Perilaku seksual responden dalam berpacaran telah menjurus pada hubungan seks
bebas. Aktifitas berpacaran responden dimulai dari ngobrol (24%), pegang tangan
(16%), pelukan (13%), cium pipi (12%). Sedangkan perilaku yang sudah menjurus
pada hubungan seks awal (foreplay) adalah cium pipi (9%), necking (9%),meraba
organ seksual (4%), petting (2 %) dan hubungan seksual (1%).
Kondisi
ini menunjukkan betapa sudah sangat mengkhawatirkannya perilaku remaja saat
ini.
Dalam
aktifitas pacaran, responden tidak segan melakukannya di sekolah (14%) meskipun
rumah masih merupakan tempat yang sering digunakan oleh responden untuk
berpacaran (26%). Tetapi berpacaran di tempat umum, tempat rekreasi bahkan
hotel pun sudah bukan barang baru bagi remaja (23%).
Arus informasi melalui media masa dengan segala
perangkatnya, surat kabar, tabloid media elektronik, televisi, dan internet
telah menyebabkan mempercepat terjadinya perubahan. Remaja merupakan salah satu
kelompok yang mudah terpengaruh oleh arus informasi baik yang negatif maupun
yang positif. Sebagaimana tercermin dalam survey tersebut, Hal ini mempengaruhi
remaja untuk berperilaku berisiko antara lain menjalin hubungan seksual
pranikah, dan perilaku seksual lainya hingga kekerasan seksual yang dapat
mengakibatkan kehamilan tidak diinginkan, resiko reproduksi lainnya, serta
tertular infeksi menular seksual termasuk HIV/AIDS.
Untuk itu,
hubungan sinergis pemerintah, lembaga-lembaga pendidikan dan masyarakat harus
dikuatkan untuk menanggulangi permasalahan tersebut, upaya penyadaran remaja
mengenai pendidikan seks dan kesehatan reproduksinya harus dilakukan. Harus
dikembangkan seluas-luasnya pusat informasi mengenai seksualitas dan kesehatan
reproduksi, tersedianya pelayanan remaja yang ramah pada remaja termasuk
konsultasi remaja, mengembangkan media informasi dan pendidikan,
mengintegrasikan program remaja ke dalam program pencegahan HIV/AIDS dan IMS,
memperkuat jaringan dan sistem rujukan ke pusat pelayanan kesehatan yang
relevan, memperkuat pelayanan dan informasi bagi remaja termasuk meningkatkan
perlindungan bagi remaja untuk menghindari segala upaya eksploitasi dan
kekerasan pada remaja.